Oleh: Anis Idelia
Ketika aku mulai merasa putus asa untuk menciptakan suatu karya. Aku
memutuskan untuk menenangkan diri sejenak di ruangan istimewa, ruangan itu
sebenarnya sederhana, hanya terdapat tempat tidur berukuran kecil, meja
belajar, dan lemari, tetapi di ruangan ini hanya ada aku seorang, itulah yang menjadikan ruangan ini begitu istimewa
bagiku. Seperti biasa aku berada di sini untuk menjernihkan pikiran dan meredakan
segala emosi yang ada dalam diriku. Jujur, kali ini rasanya sangat sulit
bagiku. Di saat aku sudah menemukan titik terang untuk mengembangkan hobiku, orang
tuaku tiba-tiba mematahkan semangatku.
“Untuk apa sih kamu berbuat seperti ini?
Ikut-ikut kegiatan seperti ini, lalu membeli buku novel
seperti ini, memangnya kamu baca? Emangnya kegiatan kamu ini mengarah ke
jurusan sekolahmu? Udahlah pentingin sekolah aja, tidak perlu macam-macam,
awas saja kalau nilai kamu sampai menurun,” ucap Mama sambil memegang buku novelku.
“Iya, memang ada gunanya kamu membaca novel seperti itu,
lebih baik kamu membaca buku pelajaran sekolah saja,” tukas Papaku tiba-tiba.
“Kok kalian berkata seperti itu, Vanesa kan hanya menyalurkan
hobi, memangnya salah? Vanes juga mengerti sekolah itu sangat penting, kalian
tidak perlu khawatir seperti itu, vanes sudah membagi-bagi waktu.”
“Jangan sekali-sekali
Mama memiliki niatan untuk membuangnya, karena itu sangat
berharga bagi Vanes
untuk merilekskan otak,” kataku dengan sedikit kesal.
Kujatuhkan tubuhku
di atas kasur, dan mataku tertuju lurus ke langit-langit kamar yang dihiasi gambar
awan dengan warna biru di sekelilingnya. Kepalaku rasanya ingin meledak saat
mengingat kalimat mematikan yang keluar dari mulut mereka, aku lelah dengan
perlakuan mereka, aku mengerti mereka begitu karena ingin aku sukses nantinya.
Tok.... Tok... Tok... Tok...
Tok.. Tok.. Tok..
Tok.. Tok.. Tok..
“Siapa sih? Iya bentar, ganggu aja nih,” kataku sambil menuju pintu.
“Ini Hendra, ka. Bukain dong pintunya. Kakak lagi apa sih lama banget buka
pintunya.”
“Kenapa sih Ndra? Kamu itu berisik banget.”
Alisku naik.
“Itu si Mama dari tadi manggil-manggil kakak, nyuruh
kakak makan.”
“Bilang ke Mama kalau aku nggga lapar.” Kataku sambil membanting pintu.
Brakkkkk.......
“Dasar, cewek barbar!” Hendra berteriak.
Mendengar kalimat itu, emosiku meningkat.
Tadinya aku berniat mengejar Hendra, tapi langkahku
terhenti di dekat tumpukan
kardus-kardus, kardus- kardus itu berisi buku-buku lamaku. Aku melihat buku
kecil dengan sampul berwarna hijau tosca yang menyembul keluar dari sisi
penutup kardus, aku mengambilnya lalu membersihkan debu-debu yang melapisinya,
kemudian buku itu kubawa ke ruang istimewaku.
Aku mulai membacanya, kubuka
lembaran itu dengan penuh hati-hati. Entah mengapa hatiku
tiba-tiba berdegub kencang saat membaca tentang impianku. Ya, sebenarnya buku
yang kubawa ini adalah buku harianku sewaktu aku kecil. Aku bingung harus berekspresi
seperti apa.
Di dalam buku ini aku menulis:
Aku sangat menyukai film Doraemon, walaupun hanya film kartun, tetapi di dalamnya terdapat
makna kehidupan yang sangat berarti, suatu saat nanti aku akan membuat film
yang lebih bagus dari Doraemon.
Aku tak menyangka sewaktu aku kecil bisa memiliki inspirasi
membuat film yang berawal dari film kartun Doraemon. Aku merasa bangga dengan masa kecilku yang penuh
dengan impian, rasanya kalau sekarang aku menyerah itu akan membuat sepanjang
hidupku kedepannya akan dipenuhi dengan rasa penyesalan yang tiada akhir. Setelah
membaca catatan ini, seolah-olah darah di tubuhku mengalir dengan cepat,
membuat seorang Vanesa Adelia kembali
bersemangat.
Dengan cepat, aku mengambil sebuah laptop mini dan kuisi daya baterainya agar tidak mati saat aku
menggunakannya, aku pastikan pula tidak ada kabel yang mengahalangi saat aku
akan bekerja. Di saat seperti ini suara handphoneku tidak berhenti-hentinya berdering, saat aku
melihat notifikasi ternyata dari grup kelasku, tentu saja seperti biasa
kejadian ini selalu terulang kembali. Siapa lagi biang keladinya kalau bukan kelompok
yang terdiri dari kaum alayers. Seperti biasa mereka membahas kaum adam.
“Ehh kalian tau ga, tadi ada yang orang bawa motor terus
nabrak aku hahaha.” (Pembicara 1)
“Eh seriusan?” (pembicara 2)
“Terus sekarang kamu di mana? Kamu tidak apa-apa kan?“ (pembicara 3)
“Ditabrak kok senang haha.” (pembicara 4)
“Sakit sih, tadinya aku mau marah-marah,
tapi dia nyamperin aku terus ngebuka helm terus minta
maaf mulu, terus nanya ada yang luka ga? Apa perlu saya antar ke rumah sakit?” ( pembicara 1)
“Terus kamu jawabnya apa?” (pembicara 4)
“Iya gapapa kok, cuma lecet sidikit doang.” (pembicara 1)
“Lah kok ga jadi marah?” (pembicara 2)
“Iyalah senang, iyalah ga jadi marah, orang yang nabrak
tampan banget-banget haha.” (pembicara 1)
“Namanya siapa? Bolehlah haha.” (pembicara 3)
Mataku tidak sanggup lagi membacanya, aku matikan
handphone, kemudian aku singkirkan benda ini jauh-jauh dari posisiku saat ini.
Rasanya aku menyesal membuang waktuku hanya untuk membaca pesan yang sangat
tidak berguna.
Aku memfokuskan kembali pikiranku ke arah laptop yang
berada di atas meja, jariku mulai menekan tombol on, dan membuka Microsoft
Word. Sudah lama aku ingin membuat film anime dengan latar perkotaan megah,
tapi sayangnya kali ini aku lebih menyukai karyaku menyuplikan pemandangan yang
ada di desa. Aku hanya pandai mengarang tidak dengan menggambar, sepertinya
kali ini aku harus membujuk Hendra agar mau bekerja sama denganku. Seumur
hidupku, aku tidak pernah melakukan ini, karena aku terlalu gengsi untuk
melakukannya, tapi apa boleh buat ini juga untuk mewujudkan impianku.
Komentar
Posting Komentar